BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah Negara kepulauan. Negara ini mempunyai ribuan pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Dari ribuan pulau tersebut terdapat berbagai macam suku, ras, adat, dan budaya.
Indonesia mempunyai berbagai macam kebudayaan, diantaranya adalah budaya dari suku dayak, budaya dari suku bugis, budaya dari suku jawa, budaya dari suku batak, budaya dari suku asmat, dan masih banyak lainnya. Dengan demikian, Indonesia kaya akan budaya.
Selo Soemardjan mengatakan bahwa kebudayaan sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa suatu bangsa merupakan jawaban atas tantangan kehidupan yang dihadapi oleh suatu bangsa. Sejak Indonesia terbentuk, masyarakat Indonesia berusaha menciptakan, memelihara, melestarikan, dan mengembangkan budayanya agar lebih mampu menjawab tantangan kehidupan. Budaya Indonesia yang kini kita jumpai membuktikan keberhasilan bangsa Indonesia dalam menjawab tantangan hidup dari masa prasejarah sampai pada masa pembangunan mengisi kemerdekaan (1989 : 28).
Salah satu yang menyebabkan kebudayaan Indonesia tetap terjaga sampai saat ini adalah adanya peran serta dari beberapa pihak, salah satunya adalah media elektronik, contohnya televisi. Televisi telah banyak menayangkan acara – acara tentang kebudayaan Indonesia, misalnya saja Suku – Suku yang ditayangkan di TVRI. Tayangan ini, menayangkan macam – macam kebudayaan Indonesia dan asal – usul kebudayaan tersebut, beserta kehidupan masyarakatnya.
Akan tetapi acara televisi yang menayangkan tentang kebudayaan Indonesia masih sangatlah kurang. Ditambah lagi sikap para penikmat televisi yang kurang menyukai acara – acara tentang kebudayaannya sendiri. Dan lebih menyukai acara – acara yang bersifat menghibur namun kurang menambah wawasan tentang kebudayaan Indonesia. Seperti sinetron, FTV, acara musik, talk show, reality show dan lain sebagainya.
Hal tersebutlah yang melatarbelakangi penulis untuk membuat makalah dengan judul “ Dampak negatif Tayangan Televisi Terhadap Kebudayaan Indonesia”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis menetapkan beberapa rumusan masalah sebagai berkut :
1. Apa saja dampak negatif tayangan televisi terhadap kebudayaan Indonesia ?
2. Apa saja peranan media televisi dalam melestarikan kebudayaan Indonesia ?
3. Bagaimana sikap masyarakat Indonesia dalam memanfaatkan tayangan televisi khususnya tentang kebudayaan Indonesia ?
1.3 Tujuan Pembahasan
Dari beberapa rumusan masalah diatas, penulis dapat merumuskan tujuan penelitian diantaranya sebagai berikut :
1. Mengetahui apa saja dampak televisi terhadap kebudayaan Indonesia.
2. Mengetahui apa saja peranan media televisi dalam melestarikan kebudayaan Indonesia.
3. Mengetahui bagaimana sikap masyarakat Indonesia dalam memanfaatkan tayangan televisi khususnya tentang kebudayaan Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian
Setelah merumuskan latar belakang, rumusan, dan tujuan pembahasan, langkah selanjutnya ialah menentukan manfaat dari pembahasan. Adapun manfaat dari pembahasan makalah ini adalah :
1. Dengan diketahuinya apa saja dampak negatif tayangan televisi terhadap kebudayaan Indonesia, diharapkan pembaca khususnya masyarakat Indonesia bisa memanfaatkan perkembangan televisi untuk melestarikan budaya Indonesia.
2. Setelah mengetahui apa saja peranan televisi dalam melestarikan kebudayaan Indonesia diharapkan masyarakat Indonesia dapat memanfaatkan televisi untuk menambah pengetahuan sebanyak – banyaknya tentang kebudayaan Indonesia.
3. Dengan diketahuinya sikap masyarakat Indonesia dalam memanfaatkan tayangan televisi khususnya tentang kebudayaan Indonesia, diharapkan pada stasiun televisi untuk meningkatkan kualitas tayangan televisi agar lebih menarik perhatian masyarakat, sehingga mereka tidak jenuh saat menikmati tayangan tentang kebudayaan.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Kebudayaan
Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddayh, bentuk jamak kata buddhi yang artinya akal atau budi. Dalam bahasa Inggris kebudayaan disebut culture, yang berasal dari Latin colere. Lebih lanjut Koentjaraningrat mengatakan bahwa keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dan rangka kehidupan masyarakat, yang dijadikan milik manusia dengan belajar ( 1985 : 181).
Sedangkan pengertian kebudayaan dalam UUD 1945 sesuai dengan batasan pengertian kebudayaan Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar Dewantara menyatakan kebudayaan adalah buah budi manusia dalam hidup bermasyarakat (Yudhianta,1989 : 3).
Dalam penjelasan UUD 1945, selanjutnya diuraikan bahwa kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah – daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha pembinaan kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan, dengan tidak menolak bahan – bahan baru dari kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Penjelasan ini memperjelas pengertian kita tentang unsur kebudayaan Indonesia. Tidak semua unsur kebudayaan daerah menjadi kebudayaan nasional Indonesia. Kebudayaan nasional Indonesia mencakup puncak - puncak kebudayaan daerah seluruh Indonesia (Yudhianta, 1989 : 3).
Dengan demikian, pengertian kebudayaan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Kebudayaan Indonesia adalah hasil budi daya seluruh rakyat Indonesia dari sabang sampai merauke.
2. Kebudayaan bangsa adalah kebudayaan yang timbul sebagai hasil usaha budi daya rakyat Indonesia.
3. Kebudayaan adalah seluruh hasil karya manusia yang didapat dari belajar.
2.2 Pengaruh Negatif Tayangan Televisi Terhadap Kebudayaan Indonesia.
Saat ini banyak tayangan televisi Indonesia yang mengadopsi tayangan luar negeri. Hal ini menyebabkan masuknya budaya barat ke Indonesia. Yang berakibat lunturnya budaya Indonesia. Ada beberapa dampak negatif, yang ditimbulkan oleh tayangan televisi terhadap kebudayaan bangsa, diantaranya adalah :
a. Terkikisnya budaya positif bangsa kita.
Dengan adanya televisi, banyak pengaruh negatif yang mulai masuk dan mungkin dapat menggeser budaya kita. Yudhianta menyatakan lambat laun budaya ketimuran berubah menjadi budaya ketengahan dan lama – lama menjadi budaya kebaratan ( 1989 : 73)
Di kota – kota besar, tidak sedikit kita temukan, budaya – budaya barat menyelinap di kalangan remaja. Dengan mudahnya, budaya barat masuk dan mengambil alih peran budaya timur. Misanya saja ajang pencarian jodoh Take Me Out. Acara tersebut menampilkan tayangan yang mencerminkan budaya barat. Contohnya, cara berpakain para kontestannya yang terlalu berlebihan. Selain itu, cara berbica para kontestan juga kurang sopan untuk diucapkan. Apalagi untuk di tayangkan di stasiun televisi yang di saksikan oleh khalayak umum.
Tidak aneh apabila budaya barat dengan mudahnya masuk ke Indonesia. Hal ini lah yang menjadi salah satu faktor penyebab terkikisnya budaya positif bangsa kita.
b. Tayangan televisi Bisa Melukai dan Merusak Peradaban.
Dengan adanya tayangan televisi yang banyak menyajikan tayangan yang berbau seksual, adegan-adegan kekerasan, kebencian dan kejahatan, orang tua dan anak bekerja-sama melakukan kejahatan demi uang, anak-anak melawan dan memaki orang tua, murid-murid melawan guru yang akibatnya guru seperti tidak memiliki harga diri lagi di masyarakat, dan kejahatan moral lainnya memberikan pandangan berbeda kepada pemirsanya. Pada kenyataannya, anak kecil masih berperilaku imitatif atau meniru. Pola pikir yang masih sederhana, membuat mereka cenderung menganggap apa yang ditampilkan televisi sesuai dengan yang sebenarnya. Mereka masih sulit membedakan mana perilaku atau tayangan yang fiktif dan mana yang memang kisah nyata. Mereka juga masih sulit memilah-milah perilaku yang baik sesuai dengan nilai dan norma agama dan kepribadian bangsa.
c. Berubahnya gaya hidup remaja.
Dengan adanya media televisi, para remaja Indonesia tidak sedikit lagi yang mengikuti tren budaya barat. Dari mulai pakaian, gaya hidup, penampilan dan lain sebagainnya. Hal ini menyebabkan remaja Indonesia, mau tidak mau harus memenuhi segala sesuatu yang dapat meningkatkan rasa gengsinya.
Faktanya banyak remaja sekarang yang meniru penampilan artis luar negeri. Misalnya dengan mengecat rambutnya, berpakaian terbuka, menghias tubuhnya dengan tato, dan masih banyak yang lainnya.
d. Melahirkan kebudayaan neo globalisme.
Neo globalisme adalah budaya baru yang tercipta dari hasil perpaduan antara dua budaya atau lebih ( Fuad Hassan, 1992 : 25 ). Akhir – akhir ini banyak tayangan televisi Indonesia yang meniru tayangan luar negeri, hal ini meyebabkan munculnya budaya neo globalisme. Dimana suatu daerah mengadopsi budaya dari daerah lain dan terbentuklah kebudayaan baru dari akulturasi kebudayaan yang lama.
Neo globalisme ini, banyak di lahirkan dari tayangan televisi yang sifatnya ajang pencarian bakat. Tayangan ini membentuk suatu cara atau gaya hidup remaja-remaja yang hampir sama di berbagai negara-negara di Asia. Sekarang kita dapat lihat hampir tidak ada perbedaan dalam cara berpakaian artis-artis Taiwan, China, korea, dan Jepang. Kita juga dapat melihat hampir tidak ada bedanya dalam cara pengemasan sinetron di Asia. Ini menunjukan secara tidak langsung adalah proses penyeragaman budaya dimana penyeragaman itu sendiri merupakan karakteristik dari globalisasi.
2.3 Peranan Televisi
Ada beberapa peranan televisi untuk melestarikan kebudayaan Indonesia, diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Sebagai alat untuk mendapatkan hiburan.
Televisi merupakan salah satu media elektronik yang dapat memberikan hiburan. Televisi dapat menyampaikan informasi dengan lebih cepat dan tepat dengan bantuan teknologi yang serba moderen. Televisi merupakan alat yang dapat menghibur penonton. Adapun tayangan - tayangan yang disiarkan berbentuk komedi, lagu - lagu, dan sebagainya yang dapat menghibur pemirsanya.
b. Sebagai media untuk memberikan informasi.
Berbeda dengan radio dan koran, televisi dapat menyampaikan informasi dalam bentuk visual dan audio. Dalam penyampaian informasi kepada khalayak umum, televisi dapat lebih cepat menyampaikan informasi tersebut, dibandingkan dengan koran dan radio.
c. Sebagai penyatu antar bangsa
Televisi adalah salah satu media yang mendunia. Hampir setiap rumah di dunia ini memiliki sebuah kotak ajaib, bernama televisi. Bahkan tidak sedikit pula yang memiliki televisi lebih dari satu didalam setiap rumah. Dengan adanya televisi ini, mereka dapat melihat perkembangan di Negara lain, bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa televisi dapat mempersatukan antar bangsa di seluruh dunia.
d. Sebagai ajang promosi.
Televisi juga dapat dijadikan ajang promosi, baik produk, kebudayaan, tempat wisata, alam dan lain sebagainya. Dengan adanya televisi ini lah, orang mudah untuk mencari produk – produk yang ia butuhkan. Mereka juga dapat melihat langsung bagaimana iklan tersebut. Dan dengan media televisi inilah, para produsen dapat mengenalkan hasil produksinya kepada khalayak luas (Aswondo Atmowiloto, 1986 : 67- 68)
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Dampak Negatif Tayangan Televisi Terhadap Kebudayaan Indonesia
Siapapun percaya dan yakin, televisi bisa memberikan dampak yang luar biasa terhadap pemirsanya. Berbagai survey dan kejadian nyata menunjukkan, betapa dasyatnya kekuatan televisi. Tetapi akhir – akhir ini, yang menjadi sorotan adalah dampak negatif dari televisi. Sedangkan dampak positif masih jauh dari perhatian masyarakat. Kebanyakan pelaku industri televisi cenderung menerapkan jalan pintas untuk menegeruk keuntungan. Salah satu dampak negatif yang disebarkan televisi, adalah terkikisnya budaya positif masyarakat Indonesia, akibat tayangan televisi.
Banyak sekali acara – acara dan iklan di televisi yang menyebabkan budaya di positif Indonesia menjadi hilang. Misalnya saja, frase “berani kotor itu baik” yang dipopulerkan oleh produk sabun Rinso. Selama ini kata kotor itu bermakna negatif. Secara harfiah, kotor itu berarti tidak bersih, kumal, kucel, berserakan, dan fakta buruk lainnya. Korupsi misalnya, perilaku ini termasuk dalam kategori perilaku yang kotor. Perlu pemilihan yang jelas, kotor seperti apa yang dimaksud. Penggunaan kata kotor dan “kotor” akan bermakna beda dalam konteks penulisan. Dalam konteks verbal pun demikian. Tapi Rinso tidak melakukan perbedaan itu. Dan bisa jadi ungkapan itu akan menjadi sebuah andalan baru bagi para koruptor untuk berdalih.
Saat ini memang iklan pun banyak ikut andil terhadap punahnya sejumlah budaya baik bangsa Indonesia. Misalnya, jika mengerjakan sesuatu sebaiknya dengan menggunakan tangan kanan, kecuali mereka yang kidal. Namun sekarang ini banyak sekali iklan yang menunjukkkan dominannya penggunaan tangan kiri. Contoh lainnya, kebiasaan bangun pagi. Hal tersebut merupakan budaya positif bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Lebih baik lagi, bangun sebelum ayam berkokok. Akan tetapi sejumlah iklan dengan bangganya menunjukkan sang endorser dengan sangat nyaman bangun setelah matahari bersinar terang. Hal tersebut merupakan contoh – contoh kecil yang mungkin dianggap sepele bagi sebagian orang, akan tetapi dalam beberapa tahun ke depan akan mempunyai dampak besar terhadap identitas bangsa ini.
Pengaruh yang paling dahsyat yang disebarkan televisi adalah tayangan infotainment atau gossip. Sesungguhya gossip hanya menarik saja, dan tidak mempunyai syarat lainnya seperti berita, karena didalam gossip hanya berisi tayangan – tayangan yang sifatnya menggunjing. Padahal dalam sejumlah agama, membicarakan aib orang lain atau urusan orang lain itu dosa. Karena membicarakan orang lain akan menyakiti hati orang yang dibicarakan. Jika sudah begitu, akan muncul perilaku negatif baru sebagai akibatnya. Hukum alam memang demikian, hal negatif akan menghasilkan hal negatif pula dan akhirnya membentuk lingkungan yang negatif.
Di televisi, menggunjing orang lain justru menjadi sebuah kewajiban bagi seluruh bangsa ini. Bahkan dalam sehari ada 50 acara yang berisi gunjingan terhadap orang lain. Maka tidak mengherankan kalau bangsa ini pintar mengkritik namun sangat bodoh dalam berbuat. Karena budaya positif mulai terkikis oleh budaya negatif. Hanya mereka yang memegang teguh budaya positif dan menghiraukan budaya negatif yang tidak mencapai kemajuan. Contohnya, para peraih medali fisika, atau para juara bridge. Mereka sukses karena tidak sempat menggunjing Akhmad Dani yang dituduh nikah siri dengan Mulan Jameela. Karena yang mereka tahu adalah berdo’a, belajar dan bekerja keras secara cerdas.
Hal lain yang menjadi faktor hilangnya budaya Indonesia adalah masuknya budaya barat. Budaya timur yang seharusnya masih dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia kini mulai tergantikan oleh budaya yang bertentangan. Budaya timur, sudah menjadi budaya ketengahan yang lama kelamaan akan menjadi budaya barat. Di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Bandung budaya barat sudah tampak mendominasai. Misalnya saja dari cara berbicara, cara berpakaian, sikap dan prilaku masyarakat meniru orang barat. Bahkan cara makannya pun sudah kebaratan.
Memang tidak semua budaya barat itu buruk dan tidak pula semua budaya timur itu baik, karena memang begitulah sifat budaya. Ada budaya yang positif, dan tidak jarang pula yang negatif. Namun budaya barat budaya barat yang masuk ke Indonesia kebanyakan budaya barat yang negatif. Sehingga, budaya positif kita menjadi terancam. Budaya barat tersebut, juga dapat dengan mudahnya masuk ke Indonesia melalui televisi. Televisi menayangkan berbagai macam acara setiap harinya. Misalnya saja film barat. Dengan banyaknya film barat atau drama korea yang diputar di Indonesia maka akan banyak pula budaya barat yang masuk ke Indonesia,.
Pengaruh negatif televisi lainnya adalah televisi mampu membuat remaja Indonesia bersifat konsumtif karena harus senantiasa mengikuti mode. Temtu saja ini semua menuntut biaya yang cukup tinggi. Sampai – sampai beberapa remaja Indonesia yang memaksa diri dengan hidup standar sedemikian tinggi, menghalalkan segala cara untuk mewujudkan keinginanya. Kecenderungan lain adalah anak – anak dan para remaja merasa gengsi bila tidak makan makanan yang sering muncul di televisi. Makan siap saji seperti fried chiken ( ayam goreng ), pizza, humbburger dan jenis makanan lainnya yang dinegara asalnya merupakan makanan biasa menjadi luar biasa.
Setelah kita tahu pengaruh negatif dari televisi terhadap kebudayaan Indonesia, diharapkan masyarakat Indonesia lebih berhati – hati dalam memilih tayangan televisi yamg akan ditonton.
3.2 Peranan Media Televisi Dalam Melestarikan Budaya Indonesia.
Televisi berperan penting dalam melestarikan kebudayaan Indonesia. Selain merupakan salah satu media elektronik yang dapat memberikan hiburan televisi juga merupakan salah satu media dalam menyampaikan informasi. Informasi tentang kebudayaan dapat dengan mudah kita dapat melalui televisi. Hal inilah yang dapat membuat budaya Indonesia masih tetap terjaga kelestariannya. Akan tetapi kurangnya acara – acara di televisi yang menayangkan tayangan – tayangan tentang kebudayaan membuat masyarakat Indonesia kesulitan dalam mendapatkan informasi tentang kebudayaannya sendiri.
Untuk mengatasi masalah tersebut, industri pertelevisian perlu menambah acara – acara tentang kebudayaan Indonesia. Selain memberikan informasi tentang kebudayaan Indonesia kepada masyarakat umum, tayangan tersebut juga dapat dijadikan ajang promosi kepada dunia tentang kebudayaan Indonesia. Sehingga menarik para wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Indonesia. Serta menghindari pengklaiman kebudayaan Indonesia oleh Negara lain seperti yang banyak terjadi akhir – akhir ini. Contohnya Reog Ponorogo yang diklaim sebagai budaya asli Malaysia. Untuk itu peran televisi sebagai salah satu sarana pelestarian kebudayaan Indonesia harus lebih dimaksimalkan lagi.
3.3 Sikap Masyarakat Indonesia Dalam Memanfaatkan Tayangan Televisi Khususnya Tentang Kebudayaan Indonesia.
Tidak ada hari yang terlewat tanpa menonton televisi. Hampir setiap orang menghabiskan beberapa jam bahkan hampir seharian duduk dan menikmati tayangan televisi. Televisi menyuguhkan berbagai acara yang beragam dan menarik tanpa kompromi. Ditambah lagi dengan hadirnya sebelas stasiun televisi nasional, seolah tidak ada kata bosan, sehingga tidak ada kata bosan untuk menontonnya.
Banyaknya tayangan di televisi membuat semua orang bingung untuk memilih mana acara yang pantas untuk ditonton. Selain itu masyarakat Indonesia juga kurang tertarik dengan acara – acara yang menambah wawasan khususnya tentang kebudayaan Indonesia. Masyarakat lebih menyukai acara yang hanya menghibur saja. Selain karena acara tersebut dikemas dalam bentuk yang menarik, acara tersebut juga di bumbui dengan adegan – adegan seksual.
Kurang antusiasnya masyarakat dalam menonton acara tentang kebudayaan Indonesia disebabkan karena kurang menariknya acara – acara tentang kebudayaan Indonesia. Seharusnya tayangan tentang kebudayaan tersebut dikemas semenarik mungkin, sehingga bisa menumbuhkan antusiasme masyarakat untuk menyaksikan tayangan tersebut.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada BAB III, dapat disimpulkan :
4.1.1 Adanya dampak negatif tayangan televisi terhadap kebudayaan Indonesia. Budaya barat banyak masuk ke Indonesia melalui tayangan televisi. Hal ini menyebabkan kebudayaan Indonesia lambat laun akan hilang.
4.1.2 Peran televisi dalam melestarikan kebudayaan Indonesia adalah dengan menayangkan acara – acara yang bersifat menambah wawasan tentang kebudayaan Indonesia.
4.1.3 Kurangnya ketertarikan masyarakat Indonesia terhadap tayangan televisi yang menambah wawasan tentang kebudayaan Indonesia.
4.2 Saran
Berdasarkan hasil pembahasan, penulis dapat memberikan saran sebagai berikut :
4.2.1 Stasiun televisi hendaknya jangan mencari untung saja. Mereka seharusnya bisa menciptakan tayangan yang bermutu, bukan hanya dalam hal finansial saja tetapi juga dalam hal pendidikan, terutama pendidikan tentang kebudayaan Indonesia.
4.2.2 Peran televisi dalam melestarikan kebudayaan Indonesia harus di tingkatkan lagi dengan memperbanyak yang berisi tentang kebudayaan Indonesia.
4.2.3 Masyarakat diharapkan dapat berhati – hati dalam memilih tayangan dan hendaknya dipikirkan terlebih dahulu dampak dari apa yang kita lihat. Jangan mudah terpengaruh oleh budaya barat yang masuk ke Indonesia melalui tayangan televisi.
As Huguette has just marked her 104th birthday in an ordinary hospital room in New York, there are unanswered questions as well:
Who protects an old lady who secluded herself from the world, limiting her life to a single room, playing dress-up with her dolls and watching cartoons? Who protects an old lady whose Stradivarius violin, the famous one called "The Virgin," which her mother gave her as a 50th birthday present, has been sold secretly for $6 million? Who protects an old lady whose dearest friend, a social secretary to whom Huguette supposedly gave $10 million, now has Alzheimer's and is unable to visit anymore? Who protects an old lady who has no children, and whose distant relatives have been prevented from visiting her? Who protects an old lady whose accountant fell behind on his own federal income taxes and is a convicted felon and a registered sex offender?
Interest in Huguette Clark was sparked in February by msnbc.com's photo narrative, "The Clarks: An American story of wealth, scandal and mystery." (on this page) The story was one of the most popular ever on msnbc.com. Yahoo! Buzz named Huguette Clark a hot topic of Web searches. “The TODAY Show” followed up with a report and newly discovered photos of Huguette. The New York Daily News breathlessly declared, based on the Today report, "Reclusive 104-year-old heiress Huguette Clark enters hospital," which is true enough, though that event happened at least two decades ago. The tabloid also compared her to Paris Hilton, which will be an apt comparison if Miss Hilton doesn't have her photograph taken in the next 80 years.
But off the public stage, quietly we began to hear from people who have known Huguette through the years. Pieces of her story emerged. Here is an account of what we know about her decades of seclusion, and about the men who are watching her money.
Do you think she's still alive? First, an update on those empty mansions:
Bellosguardo is not for sale — an offer of $100 million was rejected. No Clarks have visited in at least 50 years. Then, years ago, Douglas got a phone call from an attorney — Miss Clark wanted to see him, to give him instructions personally. So he flew to New York, stayed in a nice hotel, and the next morning went to her apartment. He was allowed up in the elevator to the eighth floor, and into the great apartment's art gallery, 47 feet by 19 feet, with paintings by Old Masters and Impressionists. He sat for a while. Then a servant came to say that she was quite sorry, but Miss Clark didn't need to see him after all. He went back to Santa Barbara, and still hasn't met his employer.
Beginnings In Montana, where Sen. William Andrews Clark made his fortune and lost his reputation, people had assumed that all his children were long dead. After all, he was born in 1839, and was of age to serve in the Civil War. Instead, he headed west from Pennsylvania to the mines and became as rich as Rockefeller. His name was tainted by a colorful battle to see which Democrat could pay legislators the highest price for a seat in the Senate. His legacy includes the 17th Amendment to the U.S. Constitution, which switched to election of senators by the people.
"The cumulative sentiment here is that he made a fortune off of the state’s resources in the free-wheeling laissez-faire times of the late nineteenth century, prostituted the political system with his wealth and power, exploited the working class for his own gain, left an environmental wreck behind and took his millions to other places to benefit a handful of others. And in some ways, the state has never really recovered from it all."
Who would have thought that a daughter of the dour senator's second marriage, born in 1906 when the 67-year-old's red whiskers had turned white and he was mostly deaf, would still be alive 171 years after his birth? When our story appeared in February, the governor of Montana responded by writing to Huguette through her attorney, asking her to send some of her father's wealth back to the state for cultural institutions; he received no reply.
Anna Clark and her daughter Huguette took up residence in the Fifth Avenue apartment in 1927, taking the entire 12th floor, which had been marketed as "the finest apartment in the world." Anna Eugenia La Chappelle had been the teenage ward who became the mistress and then second wife of the widower U.S. senator, who hid her away in Paris. They supposedly married in 1901 in France, though it wasn't announced until 1904 and no record of the marriage has been produced. Anna was 23, younger than the four children from his first marriage, and William was 62, older than his mother-in-law. The couple had two daughters, Andrée in 1902 in Spain, and Huguette in Paris on June 9, 1906.
And what an overwhelming house for a young girl to grow up in. Her father's last will and testament describes the contents of its 121 rooms, including four art galleries with walls lined in velvet: 225 paintings, a statue of Eve by Rodin and others by Donatello and Canova, collections of antique lace, Greek and Egyptian antiquities, Gothic tapestries, Persian carpets, an Empire Room and a Gothic room, the Louis XV and Louis XVI salons, a circular Marble Hall, and antique bronzes representing Ulysses bending his bow and Prometheus attacked by the Eagle.
After the deaths of Andrée, in 1919, and William Andrews Clark in 1925, Anna and Huguette moved five blocks down Fifth Avenue, to the Italian-Renaissance apartment building at 72nd Street. The great house was sold and dismantled.
In New York they were active in society, the opera, parties with Huguette's friends from Miss Spence's School. Anna and Huguette also spent time in Santa Barbara, traveling on a private Pullman rail car.
When Huguette married law student William Gower in 1928, the couple moved into the Fifth Avenue building, in a separate apartment from her mother. The Gowers had no children. After the divorce, in 1930, it was just mother and daughter. By the 1950s, they stopped going to Bellosguardo. Then Anna died in 1963.
What did Huguette make of her inheritance, her advantages? We have a few windows into her half century of seclusion.
The caretaker One of Huguette's caretakers on Fifth Avenue for many years was an Irish immigrant named Delia Healey, six years older than Huguette. Healey worked for Huguette from the mid-1960s until just before Healey's death in 1980.
During one period back in the 1970s, Healey's grandchildren recalled, her main duties were threefold:
She would make Huguette's lunch every day, usually crackers with sardines from a can.
She would look after Huguette's impressive collection of French dolls, carefully washing and ironing their clothes. Healey ran out to buy new baby dolls as soon as they became available at FAO Schwarz.
She managed the recording of TV shows for Huguette to watch. Huguette purchased a newfangled Sony recorder and had it delivered to Healey's apartment. During one period, granddaughter Chris MacKenzie said, her grandmother not only had to record, but also to transcribe, every word of every episode of "The Flintstones."
Yabba-dabba-do!
Healey's grandchildren recall that she loved Huguette, and that Huguette sent them generous gifts in the 1970s: basketballs for the boys, the new Pong video game, an enormous dollhouse. "It had to be 2 or 3 feet tall, and the front of it swung open, hinged, and it was all hand-painted with flower boxes,” said Eileen Rowland, a granddaughter who lived with Healey. “It had two floors inside. The house was fully furnished. The little toilets had wooden toilet seats on them and the seats would lift up. She'd sent little dolls she'd had made to resemble our family: my Mom, and us, a dog.”
When Healey became too infirm to make the trip by subway, Huguette would send her chauffeur to pick her up at her apartment in suburban Larchmont, N.Y. During all this time, the children thought that their grandmother was taking care of a much older woman. "Now we know she was younger than my Grandma," MacKenzie said.
The antiques man In the New York suburbs from the 1970s through the 1980s, Ann Fabrizio remembers that the phone would ring at home during family dinners, and a small voice with a French accent would ask for her father, the antiques dealer Robert Samuels of French & Co. Huguette would call almost daily with urgent requests — an inlaid table that had cracked, a chair to be reupholstered, new cases for the dolls. Samuels would head into the city from Crestwood, in Yonkers, a 35-minute ride on the train, then uptown to her apartment.
In 25 years, he never talked face to face with her. He saw only a shadow behind the door.
"Dad, being a patient man, would listen to her childish conversation — she from behind a closed door telling him that something in 'Mommy's apartment' needed work," Fabrizio said, though Huguette's mother, Anna, had died back in 1963. "I do remember that Dad would talk to her like a child. She wanted everything kept like Mommy had it, and that was not always possible.”
Samuels told his family that Huguette hadn't left the building voluntarily for a long time. She had a vintage car that had not been driven in 30 years, since her chauffeur died. "Dad tried to persuade her to sell it, but she would not hear of it."
"Several times, she had to be taken to the hospital for malnourishment," Fabrizio recalled her father saying. "One time the help could not get her to eat anything except bananas and ice cream."
As with the caretaker's children, Huguette would send gifts at Christmas, elaborate toy soldiers and forts, luxurious dolls, always from the Parisian store Au Nain Bleu.
"Even after my father retired, he continued to keep Miss Clark as a client, and he would trudge into New York City at age 80 to go to her empty apartment to check something out that she had called about," Fabrizio said. "He died in 2005 at age 90."
"By then she was living in the hospital. First she took up residence in Doctors' Hospital," on the Upper East Side, Fabrizio said. That hospital was razed in 2004.
"She had all her dolls over there. It was a safe environment for her."
The harpist Anna and Huguette did have a regular visitor at the Fifth Avenue apartment from perhaps the 1940s until the late 1960s, one who brought music and memories of Paris.
Huguette's mother, Anna, had studied the harp in Paris under the sponsorship of her husband-to-be, and by the 1950s she was a patron of a renowned harpist and composer, Marcel Grandjany, a Frenchman who began teaching in the 1930s at the Juilliard School in New York. Grandjany’s son, Bernard, now retired and living in Queens, still remembers the Clark address, 907 Fifth Ave., because he would drive his father over for lessons. "She never came to our house at all."
Grandjany's protégé, Kathleen Bride, a harp professor at the Eastman School of Music, recalled that in the 1960s Grandjany's wife would remind him that it was time to go over to "Mrs. Clark's" for a 4 o'clock lesson. Presumably those lessons were for Huguette, as Anna was in her 80s.
Other works are dedicated to Huguette. These works are dating from 1960, 1961 and 1968, indicating that she maintained the connection after her mother died. Anna's will left $100,000 to Juilliard. The lessons would have ended by 1970, when Grandjany was injured in a fall; he died in 1975.
The works for Huguette all have themes of childhood, though she was now middle aged, including a suite based on "La Belle au bois dormant," or "Sleeping Beauty." Also in her name is a larger work for the harp based on a Grimm fairy tale, as well as French folk songs.
"I have the feeling that these folk songs were used as teaching pieces for her to work on and then play at lessons," Bride suggests. "They may be tunes that she heard while in Paris."
The companion The only friend known to visit Huguette regularly in her later years at the apartment, through the 1970s and 1980s, was Madame Pierre. Suzanne Pierre was the wife of Huguette's physician, Jules Pierre. Like Huguette, the Pierres were from Paris.
Now Suzanne Pierre is a widow, at age 89 still in her Park Avenue apartment. I called on her without an appointment, on a stormy Saturday afternoon in March. I was told to come back in one hour, and she was ready, smartly dressed, with makeup on. Her caretaker had set out hot tea and cookies. We sat and talked in front of the television.
Yes, she said, she was Huguette's friend, a companion, but "her closest companions have always been her dolls."
She said she couldn't explain why Huguette was a recluse. "I would ask her to go out to lunch, but she preferred to stay in."
Huguette didn't trust outsiders, even relatives, because she "thought they were just after her money. She didn't trust people."
Suzanne was easily distracted by the television, and the conversation lagged. I showed her photos of Huguette, and her face brightened. She wouldn't divulge where Huguette was. No, she said, she couldn't recall the last time she had been to visit her.
In the kitchen, her caretaker explained that Suzanne has Alzheimer's disease, as Suzanne's son later confirmed.
A cousin of Suzanne's filled in the details. "From what I was told, one of the chief reasons that Ms. Clark trusted my cousin was that she preferred to conduct all of her conversations in French, so that others within earshot would be unlikely to understand the discussion," said Kurt Harjung, whose mother, Alice, talked with Suzanne Pierre nearly every day until Alice's death last year. "The whereabouts of Miss Clark was kept a secret, but she has been cared for in a private room with 24/7 staff and basically limited access by only my cousin and possibly her attorney."
Why was Huguette in the hospital? What kind of illness would justify staying in a hospital for 22 years?
"She just liked the comfort, she felt safe, she was isolated from getting sick and dying," Harjung said. "She was afraid of getting sick. She did not want to socialize with people for whatever reason."
Physically, "there didn't seem to be anything wrong with her. She was just a quirky person who couldn't contend with the outside world."
"Suzanne felt kind of sorry for her, in a way, because she didn't have any other friends, sequestered in a hospital room," Harjung said. "She had all this money and all these capabilities and never used any of them. This was her comfort zone."
And did you know, Harjung added casually, that Huguette gave Suzanne $10 million?
In 2000, "Suzanne mentioned that Miss Clark had given her — it wasn't clear whether it was a gift or given her to dispose of — a Monet or a prominent painting, the painting was valued between 10 and 15 million dollars, to market anonymously."
The gift is recorded, in an oblique way, in a federal tax case. Suzanne Pierre gave most of the money to her son and granddaughter, and the IRS challenged the amount of gift tax she owed. The court record explains that Suzanne "received a $10 million cash gift from a wealthy friend in 2000." (She won the tax case, too.)
I spoke briefly with Suzanne's son, Jacques "Jackie" Despretz, a maître d' at French restaurants. He did not dispute that Huguette gave his mother the $10 million, but offered no details.
As for his mother's contacts with Huguette, he said, it's been "a while," because of Madame Pierre's illness.
'There is no one' Distant relatives had only irregular contact with Huguette by telephone.
André Baeyens, a retired French diplomat in Austria who wrote a book about the family, is Huguette's great-half-nephew, descended from Clark's first marriage. Baeyens spoke with Huguette on the phone several times, but found that she would back off when he pressed too hard for information on her father or herself. And then some years ago, she stopped taking his calls.
Baeyens said that one of the great-great-half-nieces on the Clark side, Carla Hall, went so far as to go to the hospital room, about two years ago. "I know Carla forced things — went straight up and she saw Huguette. She was kept away."
Hall, an interior designer in New York City, said Huguette was asleep. "I visited the hospital, and met discreetly and quietly with Ms. Clark's nurse outside her room," she said in an e-mail. "On behalf of her family, I asked if I could enter the room and see her, though she was asleep. No one on the hospital staff nor her private nurse had any objection to my visit or entry to her room as they knew that I was a concerned family member. My intention was to assure the family that she was comfortable and receiving good care."
If Suzanne Pierre no longer visits, and no family visit, then who does?
"The only people she sees are people who are her attorney's people," Baeyens said. "Now if Madame Pierre is no longer seeing her, then it's finished.
"There is no one from the outside who is coming to see her."
Pesan Obama Bagi Umat Muslim yang Berpuasa
- VIVAnews - Presiden Amerika Serikat (AS), Barack Obama, mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa bagi umat muslim di AS dan mancanegara, Rabu, 11 Agustus 2010. Sesuai tradisi, Obama juga berencana menggelar acara buka puasa bersama (Iftar) di kediamannya, Gedung Putih.
Jam Mekkah, Terbesar di Dunia
By Republika
Jam ini juga akan membuat jam yang menjadi landmark kota London, Big Ben, yang pernah menempati posisi sebagai jam empat sisi terbesar di dunia, menjadi terlihat kecil. Dengan diameter sekitar 40 meter jam Saudi ini akan lebih besar dari juara dunia jam terbesar saat ini yakni jam Mall Cevahir di Istanbul, yang memiliki lebar 36 meter dan ditaruh di atap sebuah kompleks perbelanjaan.
Pemandangan sekitar masjid suci Mekkah dan Kabah merupakan bagian dari upaya Saudi untuk mengembangkan kota yang dikunjungi oleh jutaan jamaah haji setiap tahunnya. Percobaan jam ini akan dilaksanakan pada pekan pertama Ramadhan. Saat ini hanya satu sisi dari empat sisi jam yang telah dibangun dan dilapisi dengan 98 juta lembar kaca mosaik.
Di setiap sisi jam tersebut akan tertulis 'Allahuakbar' dalam bahasa Arab dilengkapi dengan ribuan lampu warna-warni. Jam akan terlihat dari jarak sekitar 25 kilometer. Sebuah dek observatorium direncanakan dibangun di dasar jam. Sebentuk bulan sabit emas yang sangat besar dengan diameter 23 meter akan diletakkan di atas jam serta akan ditembakkan lampu ke arah bulan sabit tersebut. Seluruh jam, dari dasar sampai dengan bulan sabit, itu sendiri akan memiliki tinggi 251 meter.
Insinyur Jerman dan Swiss adalah pihak yang merancang jam spektakuler. Menurut Departemen Agama Wakaf, seluruh proyek akan menelan biaya sebesar 800 juta dolar AS. Pada saat yang sama komplek tujuh menara sedang dibangun oleh pengembang Saudi, Binladen Group.
B:
Ketika mimpimu yang begitu indah,
tak pernah terwujud..ya sudahlah
Saat kau berlari mengejar anganmu,
dan tak pernah sampai..ya sudahlah (hhmm)
*reff:
Apapun yang terjadi, ku kan slalu ada untukmu
Janganlah kau bersedih..coz everything’s gonna be OKAY
Santoz:
yo..Satu dari sekian kemungkinan
kau jatuh tanpa ada harapan
saat itu raga kupersembahkan
bersama jiwa, cita,cinta dan harapan
Lezz:
Kita sambung satu persatu sebab akibat
tapi tenanglah mata hati kita kan lihat
menuntun ke arah mata angin bahagia
kau dan aku tahu,jalan selalu ada
titz:
juga ku tahu lagi problema kan terus menerjang
bagai deras ombak yang menabrak karang
namun ku tahu..ku tahu kau mampu tuk tetap tenang
hadapi ini bersamaku hingga ajal datang
B:
Saat kau berharap keramahan cinta,
tak pernah kau dapat..ya sudahlah
yeeah..dengar ku bernyanyi..lalalalalala
heyyeye yaya dedudedadedudedudidam..semua ini belum berahir
back to *reff
F2B:
satukan langkah..langkah yang beriring!
genggam hati, rangkul emosi!
B:
Genggamlah hatiku, satukan langkah kita
F2B:
Sama rasa, tanpa pamrih
ini cinta..across da sea
B:
peluklah diriku..terbanglah bersamaku, melayang jauh.. (come fly with me, baby)
F2B:
Ini aku dari ujung rambut menyusur jemari
sosok ini yang menerima kelemahan hati
yea..aku cinta kau..(ini cinta kita)
cukup satu waktu yes.(untuk satu cinta)
satu cinta ini akan tuntun jalanku
rapatkan jiwamu yo tenang disisiku
rebahkan rasamu..untuk yang ditunggu
Bahagia..Hingga ujung waktu.
back to *reff 2x
try to thinking if you're alright
then i'm shattered by the shadows of your eyes
knowing you're still here by my side
Reff :
I can see you if you're not with me
i can say to my self if you're okay
i can feel you if you're not with me
i can reach you my self, you show me the way
Life was never be so easy as it seems
'till you come and bring your love inside
no matter space and distance make it look so far
still i know you're still here by my side
Back to Reff :
Yeah… you're made me so alive,
you give the best for me…
love and fantasy
yeah…
and i never feel so lonely,
coz you're always here with me… yeah…
always here with me
Back to Reff :
I'm waking up from my summer dreams again
try to thinking if you're alright
then i'm shattered by the shadows of your eyes
knowing you're still here by my side
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanaman cabai rawit dalam bahasa latinnya Capsicum Frustescens L, kadang kadang ditanaman dipekarangan rumah sebagai tanaman sayur atau tumbuhan liar dipekarangan kosong yang terlantar. Tumbuhan ini berasan dari America tropic, yang menyukai daerah kering, dan ditemukan pada ketinggian 0,5 – 1.250 m dpl.
Seperti halnya dengan makhluk hidup lainnya tanaman cabai juga mengalami suatu pertumbuha. Selama proses pertumbuhan, tanaman Cabai mengalami proses peningkatan atau pematangan aktivitas organ baik dalam segi ukuran, yang meliputi volume, massa, jumlah dan panjang.
Tumbuhan cabai yang mulanya kecil tumbuh menjadi seiring dengan berjalannya waktu dan perlakuan yang diperolehnya. Pertumbuhan yang dialami oleh tumbuhan cabai tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah pemberian nutrisi. Dalam hal ini adalah pupuk.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang teresebut dapat dirumuskan permasalahnannya sebagai berikut:
1. Apakah ada pengaruh pemberian pupuk yang berbedaterhadap kecepatan pertumbuhan tinggi batang tanaman cabai ?
2. Bagaimana perbedaan pertambahan tinggi batang tanaman cabai antara yang diberi pupuk urea dan pupuk kandang sapi ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui adanya pengaruh pemberian pupuk dengan jenis yang berbeda terhadap kecepatan pertambahan tinggi batang tanaman cabai
2. Untuk mengetahui perbedaan pertambahan tinggi batang tanaman cabai antara tanaman cabai yang deberi pupuk urea dan yang diberi pupuk kandang sapi.
1.4 Hipotesis
Hipotesis positif
Adanya pengaruh pemberian pupuk dengan jenis yang berbeda terhadap kecepatan pertambahan tinggi batang tanaman cabai.
Tidak adanya pengaruh pemberian pupuk dengan jenis yang berbeda terhadap kecepatan pertambahan tinggi batang tanaman cabai.
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
2.1 objek penelitian
Objek = bibit tanaman cabai rawit yang usianya 2 minggu dengan jenis cengek leutik.
Populasi = 30 bibit cabai
Sampel = 2 bibit cabai
2.2 lokasi penelitian
pekarangan rumah
2.3 waktu penelitian
tanggal 25-29 juli 2010
2.4 Variabel Penelitian
a. Variable terikat : kecepatan pertambahan tinggi batang tanaman cabai
b. Variable bebas : pemberian nutrisi berbeda ( kandang sapid an urea )
c. Variable control : a. tanaman cabai
b. 2 gelas aqua
c. tanah
d. cahaya matahari
e. air
f. suhu
2.5 unit perlakuan
a. ditumbuhkan pada media tanah dan diberi pupuk kandang
b. ditumbuhkan pada media tanah dan diberi pupuk urea
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Tabel dan hasi pengamatan
tanggal Panjang batang
Pot 1 Pot 2
25/7 2010 3 cm 3 cm
26/7 2010 3,3 cm 3,6 cm
27/7 2010 3,6 cm 4 cm
28/7 2010 4 cm 4,3 cm
29/7 2010 4,4 cm 4,7 cm
jumlah 18.3 cm 19,6cm
Rata - rata 3, 66 cm 3,92 cm
KET : pot 1 : bibit yang diberi pupuk kandang
Pot 2 : bibit yang diberi pupuk urea
3.2 Analisis data
Dari table diatas dapat dilihat bahwa pertumbuhan pada pot 2 lebih cepat dibandingkan pot 1 dikarenakan faktor nutrisiinya berbeda.
Pemakaian pupuk kandang sapi memang bagus untuk tanman sayuran, tapi tidak baik untuk tanaman cabai Hal tersebut sangat mungkin sekali karena pupuk kandang sapi mempunyai kandungan nitrogen yang jauh lebih banyak dari unsur kalium yang pada fungsinya kalium adalah pembentuk pati sehingga pada tanaman cabai pohon terlihat subur tapi buah cabai kepes (daging tipis), sperti kebanyakan petani selalu bilang bahwa bila tanaman kentang daunnya subur maka umbi kentangnya kecil-kecil atau bila tanaman padinya terlalu subur maka bisa mengakibatkan gabug (bulir padi tidak terisi pati).
Berdasarkan data hasil pengamatan terjadi perbedaan tinggi tanaman cabai yang diberi pupuk kandang dan di beri pupuk urea. Hal ini dikarenakan urea mengandung unsure hara nitrogen sebesar 46 % yang berfungsi mempercepat pertumbuhan.